Judul : AKTIVITAS PERDAGANGAN ETNIS CINA DI BENGKULU PADA AKHIR ABAD XVIII – AWAL ABAD XX
link : AKTIVITAS PERDAGANGAN ETNIS CINA DI BENGKULU PADA AKHIR ABAD XVIII – AWAL ABAD XX
AKTIVITAS PERDAGANGAN ETNIS CINA DI BENGKULU PADA AKHIR ABAD XVIII – AWAL ABAD XX
Oleh : Heles Yarmaini
Alumni Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS
1. Upah tukang berkisar antara f 0,75-f 1,25 per hari. Jika dibandingkan dengan upah tukang di Palembang maka di Bengkulu lebih rendah, sebab di Palembang upah tukang rata-rata mencapai f 2,50 per hari
2. Pekerja harian di ibukota Bengkulu menerima upah berkisar antara f 0,40-f 0,65 perhari, sedangkan di pedalaman menerima upah berkisar antara f 0,25-f 0,40 per hari dan lebih rendah jika dibandingkan dengan di ibukota. Adapun sebagai kuli angkutan apabila dalam bekerja nampak menunjukkan lebih baik, maka upah akan naik menjadi f 0,75-f 1 per hari
3. Pegawai biasa pada orang Eropa menerima upah antara f 10-f 15 per bulan ditambah makan
4. Juru tulis pribumi pada orang Cina menerima upah sekitar f 25-f 30 perbulan (Almegeen Verslag,1816-1878).
Selain itu, beberapa pengrajin terdapat juga di daerah Bengkulu meskipun tidak begitu banyak. Di Mesifit (7 km dari pasar Lais) terdapat seni tenun dan juga pembuat pisau serta ujung tombak. Menurut laporan pada tahun 1875 banyak wanita di Bengkulu memakai kain yang terbuat dari hasil tenun sendiri, kecuali di afdeling Muko-Muko yang mana di sana tenun dan aktivitas kerajinan wanita lainnya tidak terdengar. Hal tersebut beralasan, mengingat para wanita di sana harus membantu menggarap ladang dan biasanya mereka melakukan pekerjaan yang berat. Kerajinan tenun di Bengkulu dilakukan terutama oleh para gadis muda. Hasil tenun mereka biasanya sangat kasar, tetapi kuat. Selain untuk dipakai sendiri baik berupa pakaian atau sarung, hasil tenun mereka juga untuk dijual. Hasil tenun yang dijual sangat unik, yakni dalam beberapa potong pakaian dihiasi dengan hiasan berupa sutera. Sutera tersebut diperoleh dari sutera yang dibiarkan sendiri, kadang-kadang kain tenun dihiasi juga dengan benang emas, untuk hasil yang demikian nilai jualnya sangat tinggi (Algemeen Verslag,1876-1877).
a. Perubahan Struktur Demografi
Menurut laporan, pertumbuhan alami penduduk daerah Karesidenan Bengkulu tidak begitu cepat. Dari luas daerah yakni 24.000 km persegi, L. C. Westenenk dalam Memorie van Overgavenya tahun 1921 (Memorie van Overgave,1921), mencatat bahwa pada tahun 1919 jumlah penduduk seluruhnya sebanyak 228.451 jiwa. Hal ini berarti setiap km, rata-rata hanya akan di huni oleh 9 orang saja. Kelambatan pertumbuhan dan perkembangan penduduk ini dapat dimungkinkan karena permasalahan di bidang pendapatan, terutama di bidang perawatan kesehatan. Hal ini disebabkan karena bantuan dan pertolongan dari tenaga ahli kesehatan sangat kurang. Kekurangan gizi dan perawatan kesehatan ini sebagai penyebab banyaknya jumlah penduduk yang meninggal dalam usia anak-anak dan usia tua. Permasalahan lain yang juga menjadi sebab adanya kelambatan pertumbuhan alami jumlah penduduk adalah adanya kesulitan dalam hal perkawinan.
Orang pribumi adalah orang-orang dari berbagai suku yang ada di Bengkulu dan jumlah yang terbesar adalah dari suku Rejang. Menurut laporan pada tahun 1920, kelompok (suku) penduduk pribumi utama yakni orang Rejang sebanyak 69.000 orang (terutama tersebar di onderafdeling Rejang, Lebong, Bengkulu, dan Seluma), suku Pasemah sebanyak 18.000 orang (yang tersebar di daerah hulu onderafdeling Manna, Seluma, dan Kaur), suku Serawai sebayak 55.000 orang (yang tersebar di onderafdeling Manna, Seluma, dan Kaur), kelompok orang Lampung sebanyak 29.500 yang tersebar di onderafdeling Krui dan Kaur, selain itu juga kelompok orang Minangkabau di Muko-Muko. Sedangkan pendatang dari Jawa dan Sunda di daerah migrasi kepahiang, Curup, dan Muara Aman, serta pendatang dari Jawa dan Sunda yang datang sebagai pekerja kontrak perkebunan dan perdagangan Eropa. Pada bulan November 1920 berjumlah 13.500 orang. Pengelompokan penduduk terdapat di sekitar kota, dusun dan talang yang tersebar didekat teluk dan pelabuhan, di sepanjang jalan raya tertentu, di kaki-kaki bukit dan gunung, serta tidak jauh dari muara sungai.
Adapun kenaikan pesat jumlah penduduk setelah tahun 1990 disebabkan oleh beberapa hal, yaitu :
1. Mengenai orang pribumi, akibat dari adanya penggabungan daerah kontrolir Rejang dan Lebong pada tahun 1904 sebanyak 32.000 (semula adalah bagian dari Karesidenan Palembang dan kemudian dimasukkan ke wilayah Karesidenan Bengkulu)
2. Mengenai orang Cina dan Eropa, akibat dibukanya pertambangan emas swasta di daerah Lebong dan sebagian mereka adalah juga sebagai buruh kontrak
3. Adanya usaha kolonialisasi (pertanian, perkebunan, maupun pertambangan) dari pemerintah Hindia Belanda
Keadaan wilayah Bengkulu memang menawarkan peluang kolonialisasi yang luas. Hal tersebut mengingat sebagai akibat sedikitnya jumlah penduduk, sedangkan lahan yang masih sangat luas dibiarkan terlantar. Memang sebagian besar tanah dan hutan daerah Bengkulu belum banyak dikelola. Menurut laporan, penduduk pribumi sendiri tidak merasa keberatan dengan adanya kolonialisasi tersebut. Hal ini mengakibatkan terjadinya pemukiman baru bagi orang asing di sekitar lingkungan mereka tinggal. Bahkan kadang-kadang penduduk pribumi tersebut meminta kedatangan para kolonis tersebut dengan alasan akan mendapat keuntungan dengan adanya penduduk yang padat. Menurut laporan dalam perkembangannya, di daerah Lebong orang Sunda jumlahnya jauh lebih besar dibandingkan dengan jumlah penduduk asli. Mengenai orang Sunda di daerah Lebong, selain mereka sebagai kolonis penggarap sawah, mereka juga sebagai buruh pada perusahaan pertambangan Rejang Lebong.
Kolonisasi yang pertama terjadi pada tahun 1908, yaitu oleh pemerintah mendatangkan penduduk dari Jawa dan Sunda. Kedatangan pertama kaum kolonis ini (terutama orang Sunda) dibawa ke onderafdeling Rejang sebagai kolonis pertanian. Sebagai akibatnya di onderafdeling tersebut muncul tiga perkampungan yang kemudian tumbuh dan berhasil dalam bidang pertanian, yaitu: kampung Air Simpang, Kampung Permoe, dan Kampung Talang Benih. Koloni pertanian di onderafdeling Rejang ini kemudian juga dibuka di Lubuk Mumpo pada tahun 1922 (Brief Gouvernemen Secretarie No.2096/20,30 Juli 1929)
Koloni Jawa yang muncul di onderafdeling Lebong pertama kali adalah pada tahun 1911 yaitu yang disebut dengan “Sukabumi”, dan selanjutnya pada tahun 1919 disebut dengan “Magelang Baru” (mereka dibawa dari Kutoarjo/wilayah Karesidenan Magelang), sedangkan “Garut” pada tahun 1931 (sebagai kuli kontrak di berbagai perkebunan). Kolonis Magelang Baru ini pertama kali datang sebanyak 44 keluarga termasuk istri dan anak-anaknya. Pada tahun 1928 masih ada percobaan kolonisasi para buruh kontrak (dari Pekalongan) di daerah perkebunan di onderafdeling Rejang, yaitu pemukimannya berada di antara Kepahiang dan Curup.
Kolonisasi di onderafdeling Lebong terutama berada di lembah Ketahun dengan kolonis pertanian, untuk pertama sebanyak 300 keluarga ditempatkan di daerah Lembah Ketahun tersebut. Keberadaan tanah di sana memang sangat baik bagi pertanian sawah. Adapun lahan yang cocok untuk membuka sawah tersedia sebanyak 3.000 bahu. Bagi kaum kolonis, lahan yang disediakan minimal sebanyak satu bahu per keluarga, selain itu juga pekarangan yang luas. Kolonisasi pemerintah di Lebong sebagai inti yang diharapkan menjadi perangsang bagi adanya kolonisasi spontan.
Pertanian di Bengkulu terutama adalah padi, namun demikian padi pada awalnya bukanlah komoditas perdagangan, sebab penduduk menanam padi biasanya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Di samping padi, tanaman seperti jagung, kacang, biyang (nama tanaman yang mengandung minyak) dan ubi oleh penduduk juga dikembangkan untuk melengkapi kebutuhan pangan yang memadai apabila mereka mengalami kegagalan dalam penanaman padi. Ketidakcocokan tanah bagi pertanian dan rendahnya kesuburan, menyebabkan di sebagian daerah mengalami kelaparan dan wabah. Menurut laporan pemerintah yang dimuat dalam Koloniaal Verslag tahun 1910 panen kurang baik di afdeling Manna, Krui, Pasar Ipuh, dan Pasar bantal, sehingga mengakibatkan kekurangan pangan (Koloniaal Verslag,1911).
Kedudukan dan dominasi ekonomi etnik Cina cukup diakui keberadaannya. Hal itu bisa dilihat, antara lain lebih besar kemungkinan bagi rata-rata orang cina untuk tinggal di rumah tembok, mempunyai mobil, memperoleh pendidikan yang baik dan tinggal di kota dari pada penduduk pribumi. Tak ada bukti orang Cina menguasai perekonomian Indonesia sebagaimana Belanda sebelum tahun 1957. Tetapi pada kenyataannya orang Cina pada umumnya lebih kaya daripada rata-rata penduduk pribumi.
Kehidupan masyarakat pribumi Bengkulu dan orang Cina dalam proses asimilasi dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor pendukung asimilasi yaitu toleransi, sikap menghormati orang asing dan kebudayaannya, persamaan dalam unsur-unsur kebudayaan masyarakat, perkawinan campuran. Persamaan unsur-unsur budaya antara masyarakat pribumi Bengkulu dan orang Cina diantaranya dalam bahasa, sistem teknologi (arsitektur rumah), dan sistem mata pencaharian (pembuatan batik). Penggunaan bahasa Melayu dalam kehidupan sehari-hari oleh orang Cina merupakan usaha mereka untuk dapat berbaur dan bergaul akrab dengan penduduk pribumi.
Kecenderungan orang Cina untuk bermukim di pusat-pusat kota ini, dipengaruhi karena pusat kota biasanya juga berfungsi sebagai pusat perdagangan dan pusat pemerintahan. Begitu juga di Bengkulu, orang Cina umumnya tinggal di pusat-pusat perdagangan yang terletak di pusat kota dalam suatu kawasan pecinan. Pemerintah Hindia Belanda sengaja menempatkan orang-orang Cina pada suatu pemukiman dengan tujuan agar komunitas Cina mudah untuk dikoordinasikan dan mendukung serta membantu Belanda dalam berbagai hal. Di daerah Bengkulu yang banyak didiami oleh orang-orang Cina, pemerintah Hindia Belanda sudah menyediakan sebuah kampung untuk ditempati, yang biasa disebut dengan perkampungan Cina. Sampai dengan masa pemerintahan Hindia Belanda, sebagian besar dari orang Cina di Bengkulu masih bertempat tinggal di kota-kota tertentu, terutama kota-kota di daerah pantai, seperti halnya di pesisir kota Bengkulu.
Berbagai macam peraturan telah dilakukan pemerintah kolonial untuk menempatkan orang Cina pada posisi tertentu. Di karesidenan Bengkulu terdapat dua sistem pemerintahan teritorial yaitu pribumi dan Eropa yang kadang-kadang terjadi tumpang tindih tetapi keduanya tetap berada di bawah kekuasaan seorang residen. Masalah hukum tentang status sipil orang Cina adalah warisan zaman penjajahan kolonial. Hukum dan administrasi kolonial pada abad XIX menganggap semua orang termasuk orang Cina yang lahir di negeri Belanda dan daerah-daerah koloninya sebagai kawula Negara Belanda.
KESIMPULAN
Hasil penelitian mengungkapkan bahwa masa penjajahan selama berabad-abad telah mewariskan kepada Indonesia suatu struktur perekonomian yang didominasi oleh perusahaan-perusahaan asing dan para pedagang Cina. Perusahaan besar milik orang barat, terutama Belanda mendominasi bidang-bidang, seperti perkebunan, pertambangan, perdagangan luar negeri, industri, dan perbankan. Boleh dikatakan semua perusahaan besar berada di tangan orang-orang Belanda, sedangkan golongan etnis Cina menguasai sektor menengah yang menjadi perantara antara perusahaan-perusahaan asing dengan orang pribumi. Kelompok pedagang Cina ini menguasai industri kecil dan menampung hasil para petani kecil serta menguasai sebagian lalu lintas kegiatan pedagang kecil. Tidak lain karena selama penjajahan Belanda, bangsa Indonesia dididik untuk menjadi buruh dan pegawai negeri saja, sedangkan yang diberi kesempatan dan dipupuk menjadi pedagang dan pengusaha ialah terutama golongan Cina. Para pengusaha Cina bergerak dalam sektor perantara seperti menjadi distributor, agen, dan penjualan komoditi perdagangan di dalam negeri dalam skala menengah dan kecil. Selain itu golongan swasta Cina masih tetap memegang pemborongan penjualan komoditi monopoli pemerintah, yang pada abad XIX cenderung meningkat dan meluas. Diantaranya ialah peningkatan penjualan candu atau opium pacht semakin besar volume dan daerah pemasaran ke wilayah pedalaman.
DAFTAR PUSTAKA
Arsip / Dokumen
Afscrift Door E. Francis. 1829. A Commentative Digest of the Laws of the Natives of that Part of the Coast of Sumatra Immediately Dependent on the Settlement of Fort Marlborough and Practised in the Court of the Presidency. Arsip Nasional RI B/13
B: 2/5: Algemeen Verslag van de Assistent Resident Benkoelen Over de Jaren 1848 en 1849. ANRI: Bundel Bengkulu
B: 3/19: Algemeen Administratief Verslag van de Assistent Resident Benkoelen Over Het Jaar 1872. ANRI: Bundel Bengkulu
B: 3/20: Algemeen Administratief Verslag van de Assistent Resident Benkoelen Over Het Jaar 1873. ANRI: Bundel Bengkulu
Koloniaal Verslag Der Assistent Resident Benkoelen Over Het Jaar 1880
Koloniaal Verslag Der Assistent Resident Benkoelen Over Het Jaar 1911
Kort Overzigt vanden Handel en Scheepvaart te Benkoelen Over de Manna. Junij 1878. ANRI: Bundel Bengkulu No. 4/33
Memorie van Overgave (MvO) Residen C. Van de Velde. Bengkulu. 24 Juli 1909. ANRI: Reel MvO Serie 2e No. 2
Memorie van Overgave (MvO) Residen W. G. Swaag. Rejang. 9 Mei 1913
Referensi Buku
Biok Tjhan, Siauw. 1984. Lima Zaman Perwujudan Integrasi Wajar. Jakarta-Amsterdam: Teratai
B. Lapian, A & Soewadji. S (ed). 1984. Sejarah Sosial Daerah Bengkulu. Jakarta: DepDikBud
Budiman, Amen. 1979. Masyarakat Islam Tionghoa di Indonesia. Semarang: Tanjung Sari
Brown, A. R. Racliffe. 1965. Function in Primitive Society. New York: The Free Press
Colombijn, Freek. 1994. Pathces of Bengkulu: History of an Indonesian Town In The Twentieth Century and The Use of Urban Space. Den Haag: News Publication
Djajadingingrat, Hoesin. 1983. Kritik Atas Sejarah Banten. Jakarta: Djambatan
G. Tan, Mely. (ed). 1979. Golongan Etnis Tionghoa Di Indonesia: Suatu Masalah Pembinaan Kesatuan Bangsa. Jakarta: PT. Gramedia
Harfield, Alan. 1995. Bencoolen: A History of The Honourable East India Company’s Barrison on The West Coast of Sumatra 1685-1825. Wiltshire: A And Partnersip
Kartodirjo, Sartono. 1982. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: Gramedia
_______. & Suryo, Djoko. 1991. Sejarah Perkebunan di Indonesia Kajian Sosial Ekonomi. Yogyakarta: Aditya Media
Kathirithamby-Wells, J. 1965. The British West Sumatran Presidency 1760-1785. Kuala Lumpur: University of Malaya Press
Koentjaraningrat. 1986. Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia
_______. 1980. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru
Kuntowijoyo. 1995. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Bentang
Marsden, William. 1999. Sejarah Sumatera. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
_______. The History of Sumatra. 1966. Kuala Lumpur: Oxford University Press
Nahuijs, Kolonel. 1828. Briven over Bencoolen, Padang, het Rijk van Menangkabaouw, Rhiouw, Singapoera, en Poulo Pinang. Breda: F.B Hollingerus Pijpers
Purcell, Victor. 1951. The Chinese in Southeast Asia. London: Oxford University Press
Ranni, M.Z. 1990. Perlawanan Terhadap Penjajahan dan Perjuangan Menegakkan Kemerdekaan Indonesia di Bumi Bengkulu. Jakarta: Balai Pustaka
Riklef, M. C. 1989. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
R. Vleming, J. 1989. Jaringan Kongsi dan Spekulasi: Jaringan Kerja Bisnis Cina. Jakarta: P.T. Temprit
Schrieke, B. 1960. Indonesian Sociological Studies 1. Bandung: Sumur Bandung
Siddik, Abdullah. 1996. Sejarah Bengkulu 1500-1990. Jakarta: Balai Pustaka
Singarimbun, Masri & Effendi, Sofian. 1995. Metode Penelitian Survey. Jakarta: LP3ES
Siu Liem, Yu. 2000. Prasangka Terhadap Etnis Cina, sebuah intisari. Jakarta: Djambatan
Skinner, G. W. 1963. The Chinese Minority Indonesia. Ruth M.C. Vey (ed): New Haven
Soekanto, Soerjono. 1983. Beberapa Teori Sosiologi Tentang Struktur Masyarakat. Jakarta: C.V. Rajawali
Suryadinata, Leo. 1984. Politik Tionghoa Peranakan di Jawa 1917-1942. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
Twan Djie, Liem. 1995. Perdagangan Perantara Distribusi Orang-Orang Cina di Jawa: Suatu Studi Ekonomi. Jakarta: P.T. Gramedia Pustaka Umum
Untoro Drajat, Heriyanti. 1995. Kepercayaan Orang Cina di Indonesia, Laporan Penelitian. Jakarta: Fakultas Sastra UI
Van der Hoeven, Pruys. 1864. Een Woord Over Sumatra in Brieven Verzameld. Rotterdam: Martinus-Nijhoff
Van Kempen, P.N. 1861. Aadrijkskundig en Statistisch Woorden Boek van Nederlandsch-Indie. deel 1. Amsterdam
Vinne, van der L. 1843. Benkoelen zoo als het is, em de Benkoelezen zoo als zij zijn. TNI. Vijfde, Jaargang. deel. II. Batavia: Ter Land-Drukkerij
Vlekke, Bernand H.M. 1965. Nusantara A History of Indonesian. The Hague: W. Van Hoeve ltd
Wibowo, I. 1999. Retrospeksi dan Rekonlekstualisasi Masalah Cina. Jakarta: PT. Gramedia
Wink, P. 1924. Eenige Archiefstukken Betreffende de Bevestiging van de Engelsche Factorij te Benkoelen in 1685. TBG. Deel. LXIV. Batavia: Albrecht & Co
_______. 1924. De Bronnen van Marsden’s Adatbesschrijving van Sumatra. BKI. Dell. 80. S-Gravenhage: Martinus-Nijhoff
Wuisman, J.J.J. 1985. Sociale Verandering in Bengkulu Een Cultuur-Sociologische Analyse. Dordrecht Holland: Foris Publications
Artikel
Harfield, Alan. 1995. Bencoolen: A History of The Honourable East India Company’s Barrison on The West Coast of Sumatra 1685-1825. Wiltshire: A And Partnersip
J. M. Nas, Peter. “Introduction: A. General View On Indonesian Town” dalam Peter J. M. Nas (ed). 1986. The Indonesian City Holland. VSA : Foris Publication
Mackie, J.A.C. 1991. “Peran Ekonomi dan Identitas Etnis Cina Indonesia dan Muangthai” dalam Jennifer Cushman dan Wang Bung Wu (ed). Perubahan Identitas Orang Cina di Asia Tenggara. Jakarta: Pustaka Umum Grafiti
_______. & Charles A. Coppel. “Suatu Survei Awal Masalah Cina di Indonesia” dalam B. P. Paulus (ed). 1976. Masalah Cina: Hasil Penelitian Ilmiah di Beberapa Negara Asia dan Australia. Bandung: Karya Nusantara
Made Tony Supriatna, A. 1996. “Bisnis dan Politik Kapitalisme dan Golongan Tionghoa di Indonesia” dalam Penguasa Ekonomi dan Siasat Pengusaha Tionghoa. Yogyakarta: Kanisius
Siagian, Hayaruddin dan Ibnu Qoyim. “Hubungan Antar Etnis: Studi Kasus di Daerah Lampung” dalam Mely G. Tan (ed). 1999. Etnisitas dan Konflik Sosial. Jakarta: PMP-LIPI
The Siauw Biap “Socio Economic Role of The Chinese in Indonesian 1820-1940” dalam Angus Madison & Ge Prince (ed). 1989. Economic Growth in Indonesian 1820-1940. Dordrecht-Holland: Foris Publication
William Skinner, G. “Golongan Minoritas Tionghoa di Indonesia” dalam Mely G. Tan. 1979. Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia: Suatu Masalah Pembinaan Kesatuan Bangsa. Jakarta: Gramedia
Abstrak: This article is trying to describe Chinese commerce activity in Bengkulu in almost a century. It contents from the development of Chinese traditional commerce activity from end of XVIII until early of XIX, social interaction those ethnic with their society and economics and societies changing in Bengkulu.The research showed that Indonesia’s economics structure being controlled by Chinese traders and multinational corporation. The Chinese was positioned as the middle class traders which connected local traders and international traders. They also controlled small local industry and strategic commodities.On the other way, native people mostly became as a civil servant and labour.
Keywords : Perdagangan, Etnis Cina, Bengkulu pada Akhir Abad XVIII-Awal Abad XIX
Keywords : Perdagangan, Etnis Cina, Bengkulu pada Akhir Abad XVIII-Awal Abad XIX
PENDAHULUAN
Peneliti bermaksud mengadakan penelitian mengenai sejarah awal pertumbuhan etnis Cina Bengkulu yang merupakan salah satu komunitas yang berpengaruh terhadap refleksi sikap masyarakat pribumi setempat terhadap keberadaan mereka. Dengan pertimbangan peneliti memilih etnis ini, karena etnis ini mempunyai pengaruh dan peranan yang sangat berarti terhadap kondisi sosial ekonomi di Bengkulu. Terutama ketika terjadi perubahan susunan pemerintahan dari Keasisten residenan Bengkulu ditingkatkan menjadi Karesidenan Bengkulu. Sementara itu seperti yang disebutkan di atas, sampai saat ini jarang ditemukan penelitian mengenai perkembangan aktivitas ekonomi etnis Cina pada zaman kolonial, khususnya di Bengkulu.
Beberapa pertanyaan penelitian yang diajukan meliputi:
Peneliti bermaksud mengadakan penelitian mengenai sejarah awal pertumbuhan etnis Cina Bengkulu yang merupakan salah satu komunitas yang berpengaruh terhadap refleksi sikap masyarakat pribumi setempat terhadap keberadaan mereka. Dengan pertimbangan peneliti memilih etnis ini, karena etnis ini mempunyai pengaruh dan peranan yang sangat berarti terhadap kondisi sosial ekonomi di Bengkulu. Terutama ketika terjadi perubahan susunan pemerintahan dari Keasisten residenan Bengkulu ditingkatkan menjadi Karesidenan Bengkulu. Sementara itu seperti yang disebutkan di atas, sampai saat ini jarang ditemukan penelitian mengenai perkembangan aktivitas ekonomi etnis Cina pada zaman kolonial, khususnya di Bengkulu.
Beberapa pertanyaan penelitian yang diajukan meliputi:
(1) Bagaimana perkembangan perdagangan tradisional Cina di Bengkulu pada akhir abad XVIII sampai awal abad XIX?
(2) Bagaimana interaksi sosial dan pemukiman model pecinan di Bengkulu pada akhir abad XVIII sampai awal abad XIX?
dan
(3) bagaimana perkembangan ekonomi dan perubahan masyarakat di Bengkulu pada akhir abad XVIII sampai awal abad XIX ?
Tinjauan Dokumen dan Pustaka: Adapun sumber-sumber diperoleh melalui penelitian arsip yang tersimpan di Arsip Nasional RI dan kepustakaan dengan menitikberatkan kategori sumber primer. Sedangkan yang termasuk sumber sekunder tetap juga diperlukan guna melengkapi sumber-sumber primernya.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode sejarah yang meliputi empat tahap. Tahap pertama adalah heuristik, yaitu mengumpulkan sumber-sumber sejarah melalui penelusuran arsip, serta studi pustaka. Tahap kedua adalah kritik, yaitu memeriksa keotentikan dan validitas sumber yang didapat. Tahap ketiga adalah interpretasi berupa penafsiran atas data sehingga memperoleh fakta-fakta sejarah. Tahap keempat adalah historiografi, yaitu menyajikan fakta-fakta yang diperoleh tersebut dalam bentuk tulisan sejarah.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dalam kajian sejarah dunia kita mengetahui bahwa proses kolonialisasi di mana-mana, semuanya diawali dengan kegiatan perdagangan, penguasaan ekonomi kemudian meningkat menjadi sebuah penguasaan politik. Demikian yang terjadi di daerah Bengkulu. Tumbuhnya industrialisasi di Eropa, khususnya pada abad XIX berdampak bagi perkembangan kota. Masuknya modal swasta asing teristimewa sejak tahun 1870 sebagai tonggak pelaksanaan perekonomian liberal. Pengusaha swasta asing menanamkan modal antara lain dalam bidang perkebunan. Industrialisasi perkebunan menuntut pembangunan infrastruktur diantaranya jalur komunikasi telekomunikasi dan transportasi yang tentu saja akan sangat mempengaruhi perkembangan kota. Perdagangan dan perindustrian pun meningkat sehingga menjadi salah satu faktor penarik dan pendorong terjadinya imigrasi. Para imigran asing seperti Eropa, Arab, India termasuk juga Cina memasuki kawasan Hindia Belanda.
Para pengusaha Cina bergerak dalam sektor perantara seperti menjadi distributor, agen, dan penjualan komoditi perdagangan di dalam negeri dalam skala menengah dan kecil. Selain itu golongan swasta Cina masih tetap memegang pemborongan penjualan komoditi monopoli pemerintah, yang pada abad XIX cenderung meningkat dan meluas. Diantaranya ialah peningkatan penjualan candu atau opium pacht semakin besar volume dan daerah pemasaran ke wilayah pedalaman.
Kegiatan ekonomi oleh orang Cina di Indonesia pada masa kolonial memang bergerak dan meluas dengan cepat. Pada mulanya hanya sebagai pedagang perantara antara pedagang Eropa dengan penghasil barang komoditi dalam hal ini penduduk pribumi. Lambat laun hampir semua siklus kegiatan ekonomi didominasi oleh orang Cina yang memang ulet dan tekun. Disamping itu juga kesempatan yang diberikan oleh pemerintah kolonial untuk memonopoli barang-barang tertentu.
Berbagai macam peraturan telah dilakukan pemerintah kolonial untuk menempatkan orang Cina pada posisi tertentu. Kebijaksanaan pemerintah kolonial ini dinilai oleh Skinner sebagai cerminan dari kebijaksanaan yang tidak menentu. Selama abad XIX orang Cina harus tinggal pada bagian tengah kota yang sudah ditentukan dan tidak bisa bebas pergi tanpa izin pemerintah Belanda. Pembatasan ini berakhir bersamaan dengan meningkatnya gelombang migran Cina sesudah Perang Dunia I (G. William Skinner,dalam Mely G. Tan, 1979: 5).
Di karesidenan Bengkulu terdapat dua sistem pemerintahan teritorial yaitu pribumi dan Eropa yang kadang-kadang terjadi tumpang tindih tetapi keduanya tetap berada di bawah kekuasaan seorang residen. Sebagai korban kebijaksanaan yang tidak menentu tersebut maka bagian ini membahas kedudukan orang-orang Cina di Karesidenan Bengkulu baik itu tercermin di dalam kedudukan hukum, kewarganegaraan, dan status sipil. Pemerintah kolonial dengan tegas membagi masyarakat menjadi tiga kelas, yaitu: pada strata teratas adalah orang Eropa, orang timur asing termasuk Cina berada di tengah, dan orang pribumi berada di lapisan bawah. Pada tahun 1919 golongan Timur Asing secara hukum dibagi menjadi dua bagian, masing-masing golongan hukum Cina dan golongan hukum Timur Asing bukan Cina (lihat Amen Budiman,1979:49). Diskriminasi terhadap orang Cina di samping penetapan tempat tinggal (wijken stelsel) dan sistem surat jalan (passen stelsel) juga ada pembatasan-pembatasan tertentu yang sebenarnya sangat menyakitkan orang Cina.
Hukum yang berlaku bagi orang Eropa berbeda dengan hukum bagi orang Cina dan Arab, sedangkan kedua hukum tersebut berbeda pula dengan hukum yang dikenakan bagi orang pribumi. Masalah hukum tentang status sipil orang Cina adalah warisan zaman penjajahan yang rumit. Hukum dan administrasi kolonial pada abad XIX menganggap semua orang termasuk orang Cina yang lahir di negeri Belanda dan daerah-daerah koloninya sebagai kaula Negara Belanda (Onderdaan) bahkan untuk tujuan statistik dan administrasi orang Cina digolongkan sebagai orang timur asing sehingga diskriminasi hukum ini sangat menyakitkan dan merugikan orang Cina.
Sesungguhnya dunia ekonomi (perdagangan) modern baru terbuka dan menjadi perhatian orang-orang Cina setelah abad ke 18. Walaupun sebelumnya sudah lama dikenal bahwa perantau Cina sebagai pedagang perantara. Akan tetapi seperti diuraikan sebelumnya peran mereka sangat kecil, sekedar sebagai pengecer dan perantara bagi dunia luar. Kehadiran Belanda dengan cepat memperkuat motif ekonomi orang-orang perantauan dalam menggeluti bidang perdagangan perantara.
Menurut Indisch Verslag tahun 1930 perdagangan perantara merupakan “mata rantai” antara importir di satu pihak dan pedagang kecil serta konsumen di pihak lain. Dalam hal ini mengenai perdagangan perantara distribusi dan selanjutnya sebagai “mata Rantai” antara eksportir dari hasil-hasil produksi penduduk. Dalam hal ini menyangkut perdagangan perantara koleksi (Indisch Verslag,1990:193-218). Sedangkan Liem Twan Djie yang lebih melihat keadaan di Jawa khususnya dan menyimpang dari batasan yang lazim dipakai di barat maka perdagangan perantara dimaksudkan sebagai cabang perdagangan yang menjadi mata rantai antara perdagangan besar-besaran dan atau industri di satu pihak dan perdagangan kecil dan atau penduduk konsumen, masing-masing produsen di pihak lain (Liem Twan Djie, 1995: 19).
Mengacu pada pengertian di atas, maka pedagang perantara dalam hal ini adalah orang-orang Cina sebagai perantara antara produsen bahan mentah dan konsumen dalam perdagangan koleksi. Fungsi perantara di sini bervariasi, mereka bisa berfungsi pembeli, pengolah, importir, pemborong, penyalur, dan distributor (Donald Earl Willmott,1960:45).Dalam hal ini fungsi tersebut sering dikombinasikan dalam salah satu atau dua perusahaan (maskapai perdagangan).
Secara tradisional fungsi pedagang perantara Cina tersebut adalah untuk mengumpulkan hasil produksi pertanian dan menyampaikan kepada eksportir besar untuk dikirim ke Eropa dan tempat-tempat lainnya atau untuk diangkut ke pasar-pasar di bagian lain di Indonesia. Pada zaman VOC, orang-orang Cina menjadi perantara antara penduduk pribumi dan VOC ( Ibid:46).
Dari hari-hari pertama Kompeni Hindia Timur Belanda, kebijaksanaan yang diskriminatif Belanda menguatkan posisi orang-orang Cina sebagai perantara ekonomi dan secara praktis menyisihkan kelas pedagang pribumi. Kasus yang terjadi di Banten dapat dijadikan sebagai acuan. Belanda dengan memakai tangan para pedagang Cina, misalnya berhasil memojokkan jalur perdagangan lada yang sebelumnya sudah dikuasai di Banten. Dalam hal ini yang digunakan sebagai sarana adalah dengan memainkan kurs nilai tukar mata uang yang dipakai dalam lalu lintas perdagangan (A.Made Tony Supriatna, 1996:70). Para pedagang Cina yang sudah lama memegang otoritas moneter untuk membuat dan mengedarkan mata uang picis, yaitu mata uang yang terbuat dari timah hitam dan diperlakukan sebagai alat tukar. VOC sebagai kongsi dagang milik Belanda, mempermainkan kurs picis, dengan mengontrol bahan bakunya dan memaksakan hanya dengan perdagangan langsung dengan VOC yang menjadi transaksi yang menguntungkan. Caranya adalah dengan memberlakukan sistem moneter ganda, sehingga VOC menjadi pihak yang diuntungkan. Sementara itu, para pedagang Cina sebagai pedagang perantara juga tidak menanggung kerugian.
Sejak tahun 1885 Bengkulu berada di bawah dominasi politik dan ekonomi Inggris, dalam hal ini dijalankan oleh armada dagang India Timur (East India Company, disingkat EIC) yang berpusat di Madras, India. Bangsa Inggris semula datang sebagai pedagang, namun selanjutnya menjadi penguasa lokal untuk menandatangani perjanjian perdagangan lada maupun pernyataan kesediaan untuk menanam lada, bahkan mengatur tata kehidupan dalam lingkungan masyarakat. Selain mengadakan perjanjian, Inggris juga memperluas kekuasaannya. Ekspansi ke daerah utara Bengkulu, antara lain: Muko-Muko, Bintuhan, Lais, Ketahun, Seblat, dan Bantal. Sedangkan ekspansi ke daerah selatan Bengkulu, antara lain: Manna, Kaur dan Krui. Ekspansi Inggris ini menggunakan tentara bayaran yang berasal dari Bugis (Bugis Corps) dan dari Benggala (India). Untuk pertahanan dan keamanan serta kepentingan perdagangan, Inggris membangun benteng-benteng (Benteng York dan Benteng Marlborough), rumah pejabat kolonial, jalan-jalan umum, pasar, maupun pertokoan.
Selain mendatangkan orang-orang dari daerah-daerah lain seperti Jawa, Ambon, dan Bugis, Inggris juga mendatangkan orang-orang dari bangsa Perancis, Portugis, Cina, dan India (Sipahi) sebagai tenaga kerja maupun militer untuk membantu kaum kolonis Inggris. Seluruh penduduk wilayah Bengkulu pada tahun 1823 dari utara ke selatan sampai di Krui sebanyak kurang lebih 18.000 Jiwa (A.B.Lapian dan Soewadji S,1984:95). Inggris berkuasa di Bengkulu sampai tahun 1824, akibat dari Traktat London Inggris harus menyerahkan Bengkulu kepada Belanda. Sejak tahun 1824 sampai tahun 1942 Bengkulu berada di bawah kekuasaan kolonis Belanda.
Secara geografis daerah Bengkulu memungkinkan untuk usaha perdagangan maupun pertanian, selain dikenal sebagai penghasil komoditas ekspor, seperti: lada, kopi, cengkeh, serta hasil hutan lainnya. Adanya sarana transportasi berupa pelabuhan laut yang dapat menampung arus barang dari segala penjuru melalui Samudera Indonesia, menjadikan salah satu faktor bagi orang-orang dari daerah lain maupun bangsa asing untuk mendatangi daerah Bengkulu. Untuk selanjutnya dengan adanya kemajuan dalam sarana transportasi melalui hubungan darat pada awal abad XX maka dengan dibangunnya jalan-jalan raya, sehingga semakin memudahkan orang-orang dari daerah lain untuk mendatangi daerah Bengkulu.
Orang-orang yang datang ke daerah Bengkulu yang berasal dari Sumatera Barat dan Palembang, kebanyakan mereka tersebut datang untuk usaha perdagangan. Di antara mereka tersebut ada yang menetap dan kemudian berasimilasi dengan penduduk asli. Sedangkan pendatang dari Jawa dan Sunda, kedatangan mereka kebanyakan bertujuan ingin menggarap tanah pertanian.
Kedatangan orang-orang dari berbagai daerah merubah struktur demografi di Bengkulu. Keberadaan mereka yang membaur dan berasimilasi tentunya sangat berpengaruh bagi penduduk asli di Bengkulu dalam hal agama, budaya mapun dalam hal lainnya dari segi agama misalnya, para pedagang-pedagang terutama dari Padang maupun Palembang.
Penduduk Bengkulu dapat dibedakan menjadi dua, yakni sebagai penduduk asli dan sebagai penduduk pendatang. Penduduk asli yang dikenal di sana terdiri dari: suku bangsa Rejang, suku bangsa Serawai, dan suku bangsa Melayu. Suku bangsa Rejang dikenal sebagai yang paling banyak jumlahnya, mereka tersebar terutama di onderafdeling Rejang, Lebong, Bengkulu, dan Seluma. Suku bangsa Serawai tersebar terutama di onderafdeling Manna, Seluma, dan Kaur. Sedangkan suku bangsa Melayu banyak mendiami daerah pesisir, daerah perkotaan, dan mayoritas adalah terdapat di ibukota Bengkulu. Di samping tiga suku bangsa di atas, terdapat pula suku-suku bangsa yang mungkin merupakan pecahan dari tiga suku bangsa tersebut. Suku bangsa tersebut adalah suku bangsa Lembak (di Padang Ulak Tanding), Muko-Muko, Kaur, dan Pasemah.
Penduduk asli mendiami suatu daerah yang dapat dibedakan ke dalam tiga ciri, yaitu: 1). Daerah perbukitan, mereka ini sedikit menghasilkan beras dan merica (lada), 2). Daerah lembah, antara lain dari pedalaman yakni dari dataran tinggi Rejang, dari Pasemah Ulu Manna di Manna, di Seluma, di Kaur serta di Krui. Mereka sebagian besar adalah penanam lada, 3). Daerah pesisir, mereka ini mendiami wilayah pasar yang kegiatannya berputar di sekitar pasar. Namun demikian sebagian dari mereka juga adalah berasal dari beragam kelompok imigran (J. Kathirythamby-Well,1977:16).
Adapun suku bangsa rejang yang dikenal paling banyak jumlahnya tersebut, di zaman pemerintah jajahan Belanda dibedakan menjadi tiga, yakni: yang mendiami onderafdeling Lebong dinamai Rejang Musi dan Rejang Lembak, dan yang mendiami onderafdeling Lais dan Bengkulu dinamai Rejang Pesisir. Suku bangsa Rejang berasal dari empat Petulai dan tiap Petulai dipimpin oleh seorang pemimpinnya yang disebut dengan istilah Rejang Ajai. Perkataan ajai ini berasal dari kata majai, yang berarti pemimpin suatu perkumpulan manusia (Abdullah Siddik,1980:32).
Penduduk bermata pencaharian kebanyakan bertani. Adapun mereka yang tinggal di dekat pantai lebih senang menangkap ikan. Ketidakcocokan tanah bagi pertanian dan rendahnya kesuburan di sebagian daerah sehingga muncul penyakit malaria dan sakit perut. Sebagian besar padi ditanam di tanah ladang yang kering dan ada juga di tanah rawa, selain itu terdapat juga sawah berair, terutama di daerah Rejang dan Lebong yang mana di sana, di semua lembah sungai Ketahun di Lebong diubah menjadi sawah. Di samping padi sebagian tanaman pertanian, penduduk juga menanam kopi yang ditanam di daerah pegunungan, tembakau sebagai tanaman kedua setelah tanaman padi di lading dan juga pinang. Selain itu, ditanam juga jagung, tebu, gambir, kelapa, jenis ubi-ubian, kacang, karet, dan rotan. Hasil panen padi di Bengkulu kebanyakan hanya cukup untuk kebutuhannya sendiri. Selain berladang, mereka juga suka berburu binatang dan memiliki semangat kerja yang keras.
Dalam Koloniaal Verslag tahun 1880 dilaporkan bahwa pertanian yang paling maju pada tahun 1879 adalah di afdeling Manna, Kaur, dan terutama di Krui yang terletak di sebelah selatan. Dilaporkan juga bahwa penduduk afdeling Manna dan Kaur tertinggal kesejahteraannya bila dibandingkan dengan penduduk di afdeling Krui. Sedangkan afdeling yang paling miskin di wilayah karesidenan Bengkulu adalah afdeling Seluma. Adapun penduduk di daerah pedalaman yang lebih subur kondisi alamnya, pada tahun 1879 penduduknya semakin sibuk menanam kopi dan padi. Selain itu di Seluma, penduduk juga nampak memulai membuka kebun-kebun kopi dan lada di daerah dataran tinggi (Koloniale Verslag,1880). Untuk hasil perkebunan yang ada di Bengkulu antara lain, adalah: kopi, cengkeh, lada, pala, gandum turki, gambir, tebu, kelapa, pinang, tembakau, kapas, ubi-ubian, kacang, nila, dan pohon asam.
Di afdeling ibukota Bengkulu, penduduk bermata pencaharian berdagang, menangkap ikan, dan kuli angkut. Selain itu, di ibukota terdapat pula para tukang, antara lain: tukang kayu, tukang pande besi, pande emas dan perak, tukang batu, dan tukang cuci. Di daerah pedalaman selain bermata pencaharian sebagai petani, ada juga sebagai tukang. Diantaranya: tukang kayu, pande besi, pembuat kereta, pedati, pembuat tikar dan keranjang, dan juga tukang kapal (terdapat di muko-muko). Di beberapa daerah para wanita ada juga yang membuat kerajinan pot dari tanah liat. Selain itu, di Muko-Muko nampak beberapa warga yang membuat berbagai benda dari getah, seperti peralatan mencuci, pembuat rokok, pelumas kain. Namun demikian, mereka tersebut bekerja hanya apabila ada pesanan saja.
Oleh karena di Bengkulu sekitar tahun 1875 tidak dijumpai industri, maka tidak ada ukuran upah kerja disana, walaupun ada upah didasarkan atas kecocokan. Menurut laporan sekitar tahun 1875-1877, upah para pekerja baik bagi orang Eropa, orang Timur Asing, maupun orang pribumi adalah sebagai berikut:
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode sejarah yang meliputi empat tahap. Tahap pertama adalah heuristik, yaitu mengumpulkan sumber-sumber sejarah melalui penelusuran arsip, serta studi pustaka. Tahap kedua adalah kritik, yaitu memeriksa keotentikan dan validitas sumber yang didapat. Tahap ketiga adalah interpretasi berupa penafsiran atas data sehingga memperoleh fakta-fakta sejarah. Tahap keempat adalah historiografi, yaitu menyajikan fakta-fakta yang diperoleh tersebut dalam bentuk tulisan sejarah.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dalam kajian sejarah dunia kita mengetahui bahwa proses kolonialisasi di mana-mana, semuanya diawali dengan kegiatan perdagangan, penguasaan ekonomi kemudian meningkat menjadi sebuah penguasaan politik. Demikian yang terjadi di daerah Bengkulu. Tumbuhnya industrialisasi di Eropa, khususnya pada abad XIX berdampak bagi perkembangan kota. Masuknya modal swasta asing teristimewa sejak tahun 1870 sebagai tonggak pelaksanaan perekonomian liberal. Pengusaha swasta asing menanamkan modal antara lain dalam bidang perkebunan. Industrialisasi perkebunan menuntut pembangunan infrastruktur diantaranya jalur komunikasi telekomunikasi dan transportasi yang tentu saja akan sangat mempengaruhi perkembangan kota. Perdagangan dan perindustrian pun meningkat sehingga menjadi salah satu faktor penarik dan pendorong terjadinya imigrasi. Para imigran asing seperti Eropa, Arab, India termasuk juga Cina memasuki kawasan Hindia Belanda.
Para pengusaha Cina bergerak dalam sektor perantara seperti menjadi distributor, agen, dan penjualan komoditi perdagangan di dalam negeri dalam skala menengah dan kecil. Selain itu golongan swasta Cina masih tetap memegang pemborongan penjualan komoditi monopoli pemerintah, yang pada abad XIX cenderung meningkat dan meluas. Diantaranya ialah peningkatan penjualan candu atau opium pacht semakin besar volume dan daerah pemasaran ke wilayah pedalaman.
Kegiatan ekonomi oleh orang Cina di Indonesia pada masa kolonial memang bergerak dan meluas dengan cepat. Pada mulanya hanya sebagai pedagang perantara antara pedagang Eropa dengan penghasil barang komoditi dalam hal ini penduduk pribumi. Lambat laun hampir semua siklus kegiatan ekonomi didominasi oleh orang Cina yang memang ulet dan tekun. Disamping itu juga kesempatan yang diberikan oleh pemerintah kolonial untuk memonopoli barang-barang tertentu.
Berbagai macam peraturan telah dilakukan pemerintah kolonial untuk menempatkan orang Cina pada posisi tertentu. Kebijaksanaan pemerintah kolonial ini dinilai oleh Skinner sebagai cerminan dari kebijaksanaan yang tidak menentu. Selama abad XIX orang Cina harus tinggal pada bagian tengah kota yang sudah ditentukan dan tidak bisa bebas pergi tanpa izin pemerintah Belanda. Pembatasan ini berakhir bersamaan dengan meningkatnya gelombang migran Cina sesudah Perang Dunia I (G. William Skinner,dalam Mely G. Tan, 1979: 5).
Di karesidenan Bengkulu terdapat dua sistem pemerintahan teritorial yaitu pribumi dan Eropa yang kadang-kadang terjadi tumpang tindih tetapi keduanya tetap berada di bawah kekuasaan seorang residen. Sebagai korban kebijaksanaan yang tidak menentu tersebut maka bagian ini membahas kedudukan orang-orang Cina di Karesidenan Bengkulu baik itu tercermin di dalam kedudukan hukum, kewarganegaraan, dan status sipil. Pemerintah kolonial dengan tegas membagi masyarakat menjadi tiga kelas, yaitu: pada strata teratas adalah orang Eropa, orang timur asing termasuk Cina berada di tengah, dan orang pribumi berada di lapisan bawah. Pada tahun 1919 golongan Timur Asing secara hukum dibagi menjadi dua bagian, masing-masing golongan hukum Cina dan golongan hukum Timur Asing bukan Cina (lihat Amen Budiman,1979:49). Diskriminasi terhadap orang Cina di samping penetapan tempat tinggal (wijken stelsel) dan sistem surat jalan (passen stelsel) juga ada pembatasan-pembatasan tertentu yang sebenarnya sangat menyakitkan orang Cina.
Hukum yang berlaku bagi orang Eropa berbeda dengan hukum bagi orang Cina dan Arab, sedangkan kedua hukum tersebut berbeda pula dengan hukum yang dikenakan bagi orang pribumi. Masalah hukum tentang status sipil orang Cina adalah warisan zaman penjajahan yang rumit. Hukum dan administrasi kolonial pada abad XIX menganggap semua orang termasuk orang Cina yang lahir di negeri Belanda dan daerah-daerah koloninya sebagai kaula Negara Belanda (Onderdaan) bahkan untuk tujuan statistik dan administrasi orang Cina digolongkan sebagai orang timur asing sehingga diskriminasi hukum ini sangat menyakitkan dan merugikan orang Cina.
Sesungguhnya dunia ekonomi (perdagangan) modern baru terbuka dan menjadi perhatian orang-orang Cina setelah abad ke 18. Walaupun sebelumnya sudah lama dikenal bahwa perantau Cina sebagai pedagang perantara. Akan tetapi seperti diuraikan sebelumnya peran mereka sangat kecil, sekedar sebagai pengecer dan perantara bagi dunia luar. Kehadiran Belanda dengan cepat memperkuat motif ekonomi orang-orang perantauan dalam menggeluti bidang perdagangan perantara.
Menurut Indisch Verslag tahun 1930 perdagangan perantara merupakan “mata rantai” antara importir di satu pihak dan pedagang kecil serta konsumen di pihak lain. Dalam hal ini mengenai perdagangan perantara distribusi dan selanjutnya sebagai “mata Rantai” antara eksportir dari hasil-hasil produksi penduduk. Dalam hal ini menyangkut perdagangan perantara koleksi (Indisch Verslag,1990:193-218). Sedangkan Liem Twan Djie yang lebih melihat keadaan di Jawa khususnya dan menyimpang dari batasan yang lazim dipakai di barat maka perdagangan perantara dimaksudkan sebagai cabang perdagangan yang menjadi mata rantai antara perdagangan besar-besaran dan atau industri di satu pihak dan perdagangan kecil dan atau penduduk konsumen, masing-masing produsen di pihak lain (Liem Twan Djie, 1995: 19).
Mengacu pada pengertian di atas, maka pedagang perantara dalam hal ini adalah orang-orang Cina sebagai perantara antara produsen bahan mentah dan konsumen dalam perdagangan koleksi. Fungsi perantara di sini bervariasi, mereka bisa berfungsi pembeli, pengolah, importir, pemborong, penyalur, dan distributor (Donald Earl Willmott,1960:45).Dalam hal ini fungsi tersebut sering dikombinasikan dalam salah satu atau dua perusahaan (maskapai perdagangan).
Secara tradisional fungsi pedagang perantara Cina tersebut adalah untuk mengumpulkan hasil produksi pertanian dan menyampaikan kepada eksportir besar untuk dikirim ke Eropa dan tempat-tempat lainnya atau untuk diangkut ke pasar-pasar di bagian lain di Indonesia. Pada zaman VOC, orang-orang Cina menjadi perantara antara penduduk pribumi dan VOC ( Ibid:46).
Dari hari-hari pertama Kompeni Hindia Timur Belanda, kebijaksanaan yang diskriminatif Belanda menguatkan posisi orang-orang Cina sebagai perantara ekonomi dan secara praktis menyisihkan kelas pedagang pribumi. Kasus yang terjadi di Banten dapat dijadikan sebagai acuan. Belanda dengan memakai tangan para pedagang Cina, misalnya berhasil memojokkan jalur perdagangan lada yang sebelumnya sudah dikuasai di Banten. Dalam hal ini yang digunakan sebagai sarana adalah dengan memainkan kurs nilai tukar mata uang yang dipakai dalam lalu lintas perdagangan (A.Made Tony Supriatna, 1996:70). Para pedagang Cina yang sudah lama memegang otoritas moneter untuk membuat dan mengedarkan mata uang picis, yaitu mata uang yang terbuat dari timah hitam dan diperlakukan sebagai alat tukar. VOC sebagai kongsi dagang milik Belanda, mempermainkan kurs picis, dengan mengontrol bahan bakunya dan memaksakan hanya dengan perdagangan langsung dengan VOC yang menjadi transaksi yang menguntungkan. Caranya adalah dengan memberlakukan sistem moneter ganda, sehingga VOC menjadi pihak yang diuntungkan. Sementara itu, para pedagang Cina sebagai pedagang perantara juga tidak menanggung kerugian.
Sejak tahun 1885 Bengkulu berada di bawah dominasi politik dan ekonomi Inggris, dalam hal ini dijalankan oleh armada dagang India Timur (East India Company, disingkat EIC) yang berpusat di Madras, India. Bangsa Inggris semula datang sebagai pedagang, namun selanjutnya menjadi penguasa lokal untuk menandatangani perjanjian perdagangan lada maupun pernyataan kesediaan untuk menanam lada, bahkan mengatur tata kehidupan dalam lingkungan masyarakat. Selain mengadakan perjanjian, Inggris juga memperluas kekuasaannya. Ekspansi ke daerah utara Bengkulu, antara lain: Muko-Muko, Bintuhan, Lais, Ketahun, Seblat, dan Bantal. Sedangkan ekspansi ke daerah selatan Bengkulu, antara lain: Manna, Kaur dan Krui. Ekspansi Inggris ini menggunakan tentara bayaran yang berasal dari Bugis (Bugis Corps) dan dari Benggala (India). Untuk pertahanan dan keamanan serta kepentingan perdagangan, Inggris membangun benteng-benteng (Benteng York dan Benteng Marlborough), rumah pejabat kolonial, jalan-jalan umum, pasar, maupun pertokoan.
Selain mendatangkan orang-orang dari daerah-daerah lain seperti Jawa, Ambon, dan Bugis, Inggris juga mendatangkan orang-orang dari bangsa Perancis, Portugis, Cina, dan India (Sipahi) sebagai tenaga kerja maupun militer untuk membantu kaum kolonis Inggris. Seluruh penduduk wilayah Bengkulu pada tahun 1823 dari utara ke selatan sampai di Krui sebanyak kurang lebih 18.000 Jiwa (A.B.Lapian dan Soewadji S,1984:95). Inggris berkuasa di Bengkulu sampai tahun 1824, akibat dari Traktat London Inggris harus menyerahkan Bengkulu kepada Belanda. Sejak tahun 1824 sampai tahun 1942 Bengkulu berada di bawah kekuasaan kolonis Belanda.
Secara geografis daerah Bengkulu memungkinkan untuk usaha perdagangan maupun pertanian, selain dikenal sebagai penghasil komoditas ekspor, seperti: lada, kopi, cengkeh, serta hasil hutan lainnya. Adanya sarana transportasi berupa pelabuhan laut yang dapat menampung arus barang dari segala penjuru melalui Samudera Indonesia, menjadikan salah satu faktor bagi orang-orang dari daerah lain maupun bangsa asing untuk mendatangi daerah Bengkulu. Untuk selanjutnya dengan adanya kemajuan dalam sarana transportasi melalui hubungan darat pada awal abad XX maka dengan dibangunnya jalan-jalan raya, sehingga semakin memudahkan orang-orang dari daerah lain untuk mendatangi daerah Bengkulu.
Orang-orang yang datang ke daerah Bengkulu yang berasal dari Sumatera Barat dan Palembang, kebanyakan mereka tersebut datang untuk usaha perdagangan. Di antara mereka tersebut ada yang menetap dan kemudian berasimilasi dengan penduduk asli. Sedangkan pendatang dari Jawa dan Sunda, kedatangan mereka kebanyakan bertujuan ingin menggarap tanah pertanian.
Kedatangan orang-orang dari berbagai daerah merubah struktur demografi di Bengkulu. Keberadaan mereka yang membaur dan berasimilasi tentunya sangat berpengaruh bagi penduduk asli di Bengkulu dalam hal agama, budaya mapun dalam hal lainnya dari segi agama misalnya, para pedagang-pedagang terutama dari Padang maupun Palembang.
Penduduk Bengkulu dapat dibedakan menjadi dua, yakni sebagai penduduk asli dan sebagai penduduk pendatang. Penduduk asli yang dikenal di sana terdiri dari: suku bangsa Rejang, suku bangsa Serawai, dan suku bangsa Melayu. Suku bangsa Rejang dikenal sebagai yang paling banyak jumlahnya, mereka tersebar terutama di onderafdeling Rejang, Lebong, Bengkulu, dan Seluma. Suku bangsa Serawai tersebar terutama di onderafdeling Manna, Seluma, dan Kaur. Sedangkan suku bangsa Melayu banyak mendiami daerah pesisir, daerah perkotaan, dan mayoritas adalah terdapat di ibukota Bengkulu. Di samping tiga suku bangsa di atas, terdapat pula suku-suku bangsa yang mungkin merupakan pecahan dari tiga suku bangsa tersebut. Suku bangsa tersebut adalah suku bangsa Lembak (di Padang Ulak Tanding), Muko-Muko, Kaur, dan Pasemah.
Penduduk asli mendiami suatu daerah yang dapat dibedakan ke dalam tiga ciri, yaitu: 1). Daerah perbukitan, mereka ini sedikit menghasilkan beras dan merica (lada), 2). Daerah lembah, antara lain dari pedalaman yakni dari dataran tinggi Rejang, dari Pasemah Ulu Manna di Manna, di Seluma, di Kaur serta di Krui. Mereka sebagian besar adalah penanam lada, 3). Daerah pesisir, mereka ini mendiami wilayah pasar yang kegiatannya berputar di sekitar pasar. Namun demikian sebagian dari mereka juga adalah berasal dari beragam kelompok imigran (J. Kathirythamby-Well,1977:16).
Adapun suku bangsa rejang yang dikenal paling banyak jumlahnya tersebut, di zaman pemerintah jajahan Belanda dibedakan menjadi tiga, yakni: yang mendiami onderafdeling Lebong dinamai Rejang Musi dan Rejang Lembak, dan yang mendiami onderafdeling Lais dan Bengkulu dinamai Rejang Pesisir. Suku bangsa Rejang berasal dari empat Petulai dan tiap Petulai dipimpin oleh seorang pemimpinnya yang disebut dengan istilah Rejang Ajai. Perkataan ajai ini berasal dari kata majai, yang berarti pemimpin suatu perkumpulan manusia (Abdullah Siddik,1980:32).
Penduduk bermata pencaharian kebanyakan bertani. Adapun mereka yang tinggal di dekat pantai lebih senang menangkap ikan. Ketidakcocokan tanah bagi pertanian dan rendahnya kesuburan di sebagian daerah sehingga muncul penyakit malaria dan sakit perut. Sebagian besar padi ditanam di tanah ladang yang kering dan ada juga di tanah rawa, selain itu terdapat juga sawah berair, terutama di daerah Rejang dan Lebong yang mana di sana, di semua lembah sungai Ketahun di Lebong diubah menjadi sawah. Di samping padi sebagian tanaman pertanian, penduduk juga menanam kopi yang ditanam di daerah pegunungan, tembakau sebagai tanaman kedua setelah tanaman padi di lading dan juga pinang. Selain itu, ditanam juga jagung, tebu, gambir, kelapa, jenis ubi-ubian, kacang, karet, dan rotan. Hasil panen padi di Bengkulu kebanyakan hanya cukup untuk kebutuhannya sendiri. Selain berladang, mereka juga suka berburu binatang dan memiliki semangat kerja yang keras.
Dalam Koloniaal Verslag tahun 1880 dilaporkan bahwa pertanian yang paling maju pada tahun 1879 adalah di afdeling Manna, Kaur, dan terutama di Krui yang terletak di sebelah selatan. Dilaporkan juga bahwa penduduk afdeling Manna dan Kaur tertinggal kesejahteraannya bila dibandingkan dengan penduduk di afdeling Krui. Sedangkan afdeling yang paling miskin di wilayah karesidenan Bengkulu adalah afdeling Seluma. Adapun penduduk di daerah pedalaman yang lebih subur kondisi alamnya, pada tahun 1879 penduduknya semakin sibuk menanam kopi dan padi. Selain itu di Seluma, penduduk juga nampak memulai membuka kebun-kebun kopi dan lada di daerah dataran tinggi (Koloniale Verslag,1880). Untuk hasil perkebunan yang ada di Bengkulu antara lain, adalah: kopi, cengkeh, lada, pala, gandum turki, gambir, tebu, kelapa, pinang, tembakau, kapas, ubi-ubian, kacang, nila, dan pohon asam.
Di afdeling ibukota Bengkulu, penduduk bermata pencaharian berdagang, menangkap ikan, dan kuli angkut. Selain itu, di ibukota terdapat pula para tukang, antara lain: tukang kayu, tukang pande besi, pande emas dan perak, tukang batu, dan tukang cuci. Di daerah pedalaman selain bermata pencaharian sebagai petani, ada juga sebagai tukang. Diantaranya: tukang kayu, pande besi, pembuat kereta, pedati, pembuat tikar dan keranjang, dan juga tukang kapal (terdapat di muko-muko). Di beberapa daerah para wanita ada juga yang membuat kerajinan pot dari tanah liat. Selain itu, di Muko-Muko nampak beberapa warga yang membuat berbagai benda dari getah, seperti peralatan mencuci, pembuat rokok, pelumas kain. Namun demikian, mereka tersebut bekerja hanya apabila ada pesanan saja.
Oleh karena di Bengkulu sekitar tahun 1875 tidak dijumpai industri, maka tidak ada ukuran upah kerja disana, walaupun ada upah didasarkan atas kecocokan. Menurut laporan sekitar tahun 1875-1877, upah para pekerja baik bagi orang Eropa, orang Timur Asing, maupun orang pribumi adalah sebagai berikut:
1. Upah tukang berkisar antara f 0,75-f 1,25 per hari. Jika dibandingkan dengan upah tukang di Palembang maka di Bengkulu lebih rendah, sebab di Palembang upah tukang rata-rata mencapai f 2,50 per hari
2. Pekerja harian di ibukota Bengkulu menerima upah berkisar antara f 0,40-f 0,65 perhari, sedangkan di pedalaman menerima upah berkisar antara f 0,25-f 0,40 per hari dan lebih rendah jika dibandingkan dengan di ibukota. Adapun sebagai kuli angkutan apabila dalam bekerja nampak menunjukkan lebih baik, maka upah akan naik menjadi f 0,75-f 1 per hari
3. Pegawai biasa pada orang Eropa menerima upah antara f 10-f 15 per bulan ditambah makan
4. Juru tulis pribumi pada orang Cina menerima upah sekitar f 25-f 30 perbulan (Almegeen Verslag,1816-1878).
Selain itu, beberapa pengrajin terdapat juga di daerah Bengkulu meskipun tidak begitu banyak. Di Mesifit (7 km dari pasar Lais) terdapat seni tenun dan juga pembuat pisau serta ujung tombak. Menurut laporan pada tahun 1875 banyak wanita di Bengkulu memakai kain yang terbuat dari hasil tenun sendiri, kecuali di afdeling Muko-Muko yang mana di sana tenun dan aktivitas kerajinan wanita lainnya tidak terdengar. Hal tersebut beralasan, mengingat para wanita di sana harus membantu menggarap ladang dan biasanya mereka melakukan pekerjaan yang berat. Kerajinan tenun di Bengkulu dilakukan terutama oleh para gadis muda. Hasil tenun mereka biasanya sangat kasar, tetapi kuat. Selain untuk dipakai sendiri baik berupa pakaian atau sarung, hasil tenun mereka juga untuk dijual. Hasil tenun yang dijual sangat unik, yakni dalam beberapa potong pakaian dihiasi dengan hiasan berupa sutera. Sutera tersebut diperoleh dari sutera yang dibiarkan sendiri, kadang-kadang kain tenun dihiasi juga dengan benang emas, untuk hasil yang demikian nilai jualnya sangat tinggi (Algemeen Verslag,1876-1877).
a. Perubahan Struktur Demografi
Menurut laporan, pertumbuhan alami penduduk daerah Karesidenan Bengkulu tidak begitu cepat. Dari luas daerah yakni 24.000 km persegi, L. C. Westenenk dalam Memorie van Overgavenya tahun 1921 (Memorie van Overgave,1921), mencatat bahwa pada tahun 1919 jumlah penduduk seluruhnya sebanyak 228.451 jiwa. Hal ini berarti setiap km, rata-rata hanya akan di huni oleh 9 orang saja. Kelambatan pertumbuhan dan perkembangan penduduk ini dapat dimungkinkan karena permasalahan di bidang pendapatan, terutama di bidang perawatan kesehatan. Hal ini disebabkan karena bantuan dan pertolongan dari tenaga ahli kesehatan sangat kurang. Kekurangan gizi dan perawatan kesehatan ini sebagai penyebab banyaknya jumlah penduduk yang meninggal dalam usia anak-anak dan usia tua. Permasalahan lain yang juga menjadi sebab adanya kelambatan pertumbuhan alami jumlah penduduk adalah adanya kesulitan dalam hal perkawinan.
Orang pribumi adalah orang-orang dari berbagai suku yang ada di Bengkulu dan jumlah yang terbesar adalah dari suku Rejang. Menurut laporan pada tahun 1920, kelompok (suku) penduduk pribumi utama yakni orang Rejang sebanyak 69.000 orang (terutama tersebar di onderafdeling Rejang, Lebong, Bengkulu, dan Seluma), suku Pasemah sebanyak 18.000 orang (yang tersebar di daerah hulu onderafdeling Manna, Seluma, dan Kaur), suku Serawai sebayak 55.000 orang (yang tersebar di onderafdeling Manna, Seluma, dan Kaur), kelompok orang Lampung sebanyak 29.500 yang tersebar di onderafdeling Krui dan Kaur, selain itu juga kelompok orang Minangkabau di Muko-Muko. Sedangkan pendatang dari Jawa dan Sunda di daerah migrasi kepahiang, Curup, dan Muara Aman, serta pendatang dari Jawa dan Sunda yang datang sebagai pekerja kontrak perkebunan dan perdagangan Eropa. Pada bulan November 1920 berjumlah 13.500 orang. Pengelompokan penduduk terdapat di sekitar kota, dusun dan talang yang tersebar didekat teluk dan pelabuhan, di sepanjang jalan raya tertentu, di kaki-kaki bukit dan gunung, serta tidak jauh dari muara sungai.
Adapun kenaikan pesat jumlah penduduk setelah tahun 1990 disebabkan oleh beberapa hal, yaitu :
1. Mengenai orang pribumi, akibat dari adanya penggabungan daerah kontrolir Rejang dan Lebong pada tahun 1904 sebanyak 32.000 (semula adalah bagian dari Karesidenan Palembang dan kemudian dimasukkan ke wilayah Karesidenan Bengkulu)
2. Mengenai orang Cina dan Eropa, akibat dibukanya pertambangan emas swasta di daerah Lebong dan sebagian mereka adalah juga sebagai buruh kontrak
3. Adanya usaha kolonialisasi (pertanian, perkebunan, maupun pertambangan) dari pemerintah Hindia Belanda
Keadaan wilayah Bengkulu memang menawarkan peluang kolonialisasi yang luas. Hal tersebut mengingat sebagai akibat sedikitnya jumlah penduduk, sedangkan lahan yang masih sangat luas dibiarkan terlantar. Memang sebagian besar tanah dan hutan daerah Bengkulu belum banyak dikelola. Menurut laporan, penduduk pribumi sendiri tidak merasa keberatan dengan adanya kolonialisasi tersebut. Hal ini mengakibatkan terjadinya pemukiman baru bagi orang asing di sekitar lingkungan mereka tinggal. Bahkan kadang-kadang penduduk pribumi tersebut meminta kedatangan para kolonis tersebut dengan alasan akan mendapat keuntungan dengan adanya penduduk yang padat. Menurut laporan dalam perkembangannya, di daerah Lebong orang Sunda jumlahnya jauh lebih besar dibandingkan dengan jumlah penduduk asli. Mengenai orang Sunda di daerah Lebong, selain mereka sebagai kolonis penggarap sawah, mereka juga sebagai buruh pada perusahaan pertambangan Rejang Lebong.
Kolonisasi yang pertama terjadi pada tahun 1908, yaitu oleh pemerintah mendatangkan penduduk dari Jawa dan Sunda. Kedatangan pertama kaum kolonis ini (terutama orang Sunda) dibawa ke onderafdeling Rejang sebagai kolonis pertanian. Sebagai akibatnya di onderafdeling tersebut muncul tiga perkampungan yang kemudian tumbuh dan berhasil dalam bidang pertanian, yaitu: kampung Air Simpang, Kampung Permoe, dan Kampung Talang Benih. Koloni pertanian di onderafdeling Rejang ini kemudian juga dibuka di Lubuk Mumpo pada tahun 1922 (Brief Gouvernemen Secretarie No.2096/20,30 Juli 1929)
Koloni Jawa yang muncul di onderafdeling Lebong pertama kali adalah pada tahun 1911 yaitu yang disebut dengan “Sukabumi”, dan selanjutnya pada tahun 1919 disebut dengan “Magelang Baru” (mereka dibawa dari Kutoarjo/wilayah Karesidenan Magelang), sedangkan “Garut” pada tahun 1931 (sebagai kuli kontrak di berbagai perkebunan). Kolonis Magelang Baru ini pertama kali datang sebanyak 44 keluarga termasuk istri dan anak-anaknya. Pada tahun 1928 masih ada percobaan kolonisasi para buruh kontrak (dari Pekalongan) di daerah perkebunan di onderafdeling Rejang, yaitu pemukimannya berada di antara Kepahiang dan Curup.
Kolonisasi di onderafdeling Lebong terutama berada di lembah Ketahun dengan kolonis pertanian, untuk pertama sebanyak 300 keluarga ditempatkan di daerah Lembah Ketahun tersebut. Keberadaan tanah di sana memang sangat baik bagi pertanian sawah. Adapun lahan yang cocok untuk membuka sawah tersedia sebanyak 3.000 bahu. Bagi kaum kolonis, lahan yang disediakan minimal sebanyak satu bahu per keluarga, selain itu juga pekarangan yang luas. Kolonisasi pemerintah di Lebong sebagai inti yang diharapkan menjadi perangsang bagi adanya kolonisasi spontan.
Pertanian di Bengkulu terutama adalah padi, namun demikian padi pada awalnya bukanlah komoditas perdagangan, sebab penduduk menanam padi biasanya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Di samping padi, tanaman seperti jagung, kacang, biyang (nama tanaman yang mengandung minyak) dan ubi oleh penduduk juga dikembangkan untuk melengkapi kebutuhan pangan yang memadai apabila mereka mengalami kegagalan dalam penanaman padi. Ketidakcocokan tanah bagi pertanian dan rendahnya kesuburan, menyebabkan di sebagian daerah mengalami kelaparan dan wabah. Menurut laporan pemerintah yang dimuat dalam Koloniaal Verslag tahun 1910 panen kurang baik di afdeling Manna, Krui, Pasar Ipuh, dan Pasar bantal, sehingga mengakibatkan kekurangan pangan (Koloniaal Verslag,1911).
Kedudukan dan dominasi ekonomi etnik Cina cukup diakui keberadaannya. Hal itu bisa dilihat, antara lain lebih besar kemungkinan bagi rata-rata orang cina untuk tinggal di rumah tembok, mempunyai mobil, memperoleh pendidikan yang baik dan tinggal di kota dari pada penduduk pribumi. Tak ada bukti orang Cina menguasai perekonomian Indonesia sebagaimana Belanda sebelum tahun 1957. Tetapi pada kenyataannya orang Cina pada umumnya lebih kaya daripada rata-rata penduduk pribumi.
Kehidupan masyarakat pribumi Bengkulu dan orang Cina dalam proses asimilasi dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor pendukung asimilasi yaitu toleransi, sikap menghormati orang asing dan kebudayaannya, persamaan dalam unsur-unsur kebudayaan masyarakat, perkawinan campuran. Persamaan unsur-unsur budaya antara masyarakat pribumi Bengkulu dan orang Cina diantaranya dalam bahasa, sistem teknologi (arsitektur rumah), dan sistem mata pencaharian (pembuatan batik). Penggunaan bahasa Melayu dalam kehidupan sehari-hari oleh orang Cina merupakan usaha mereka untuk dapat berbaur dan bergaul akrab dengan penduduk pribumi.
Kecenderungan orang Cina untuk bermukim di pusat-pusat kota ini, dipengaruhi karena pusat kota biasanya juga berfungsi sebagai pusat perdagangan dan pusat pemerintahan. Begitu juga di Bengkulu, orang Cina umumnya tinggal di pusat-pusat perdagangan yang terletak di pusat kota dalam suatu kawasan pecinan. Pemerintah Hindia Belanda sengaja menempatkan orang-orang Cina pada suatu pemukiman dengan tujuan agar komunitas Cina mudah untuk dikoordinasikan dan mendukung serta membantu Belanda dalam berbagai hal. Di daerah Bengkulu yang banyak didiami oleh orang-orang Cina, pemerintah Hindia Belanda sudah menyediakan sebuah kampung untuk ditempati, yang biasa disebut dengan perkampungan Cina. Sampai dengan masa pemerintahan Hindia Belanda, sebagian besar dari orang Cina di Bengkulu masih bertempat tinggal di kota-kota tertentu, terutama kota-kota di daerah pantai, seperti halnya di pesisir kota Bengkulu.
Berbagai macam peraturan telah dilakukan pemerintah kolonial untuk menempatkan orang Cina pada posisi tertentu. Di karesidenan Bengkulu terdapat dua sistem pemerintahan teritorial yaitu pribumi dan Eropa yang kadang-kadang terjadi tumpang tindih tetapi keduanya tetap berada di bawah kekuasaan seorang residen. Masalah hukum tentang status sipil orang Cina adalah warisan zaman penjajahan kolonial. Hukum dan administrasi kolonial pada abad XIX menganggap semua orang termasuk orang Cina yang lahir di negeri Belanda dan daerah-daerah koloninya sebagai kawula Negara Belanda.
KESIMPULAN
Hasil penelitian mengungkapkan bahwa masa penjajahan selama berabad-abad telah mewariskan kepada Indonesia suatu struktur perekonomian yang didominasi oleh perusahaan-perusahaan asing dan para pedagang Cina. Perusahaan besar milik orang barat, terutama Belanda mendominasi bidang-bidang, seperti perkebunan, pertambangan, perdagangan luar negeri, industri, dan perbankan. Boleh dikatakan semua perusahaan besar berada di tangan orang-orang Belanda, sedangkan golongan etnis Cina menguasai sektor menengah yang menjadi perantara antara perusahaan-perusahaan asing dengan orang pribumi. Kelompok pedagang Cina ini menguasai industri kecil dan menampung hasil para petani kecil serta menguasai sebagian lalu lintas kegiatan pedagang kecil. Tidak lain karena selama penjajahan Belanda, bangsa Indonesia dididik untuk menjadi buruh dan pegawai negeri saja, sedangkan yang diberi kesempatan dan dipupuk menjadi pedagang dan pengusaha ialah terutama golongan Cina. Para pengusaha Cina bergerak dalam sektor perantara seperti menjadi distributor, agen, dan penjualan komoditi perdagangan di dalam negeri dalam skala menengah dan kecil. Selain itu golongan swasta Cina masih tetap memegang pemborongan penjualan komoditi monopoli pemerintah, yang pada abad XIX cenderung meningkat dan meluas. Diantaranya ialah peningkatan penjualan candu atau opium pacht semakin besar volume dan daerah pemasaran ke wilayah pedalaman.
DAFTAR PUSTAKA
Arsip / Dokumen
Afscrift Door E. Francis. 1829. A Commentative Digest of the Laws of the Natives of that Part of the Coast of Sumatra Immediately Dependent on the Settlement of Fort Marlborough and Practised in the Court of the Presidency. Arsip Nasional RI B/13
B: 2/5: Algemeen Verslag van de Assistent Resident Benkoelen Over de Jaren 1848 en 1849. ANRI: Bundel Bengkulu
B: 3/19: Algemeen Administratief Verslag van de Assistent Resident Benkoelen Over Het Jaar 1872. ANRI: Bundel Bengkulu
B: 3/20: Algemeen Administratief Verslag van de Assistent Resident Benkoelen Over Het Jaar 1873. ANRI: Bundel Bengkulu
Koloniaal Verslag Der Assistent Resident Benkoelen Over Het Jaar 1880
Koloniaal Verslag Der Assistent Resident Benkoelen Over Het Jaar 1911
Kort Overzigt vanden Handel en Scheepvaart te Benkoelen Over de Manna. Junij 1878. ANRI: Bundel Bengkulu No. 4/33
Memorie van Overgave (MvO) Residen C. Van de Velde. Bengkulu. 24 Juli 1909. ANRI: Reel MvO Serie 2e No. 2
Memorie van Overgave (MvO) Residen W. G. Swaag. Rejang. 9 Mei 1913
Referensi Buku
Biok Tjhan, Siauw. 1984. Lima Zaman Perwujudan Integrasi Wajar. Jakarta-Amsterdam: Teratai
B. Lapian, A & Soewadji. S (ed). 1984. Sejarah Sosial Daerah Bengkulu. Jakarta: DepDikBud
Budiman, Amen. 1979. Masyarakat Islam Tionghoa di Indonesia. Semarang: Tanjung Sari
Brown, A. R. Racliffe. 1965. Function in Primitive Society. New York: The Free Press
Colombijn, Freek. 1994. Pathces of Bengkulu: History of an Indonesian Town In The Twentieth Century and The Use of Urban Space. Den Haag: News Publication
Djajadingingrat, Hoesin. 1983. Kritik Atas Sejarah Banten. Jakarta: Djambatan
G. Tan, Mely. (ed). 1979. Golongan Etnis Tionghoa Di Indonesia: Suatu Masalah Pembinaan Kesatuan Bangsa. Jakarta: PT. Gramedia
Harfield, Alan. 1995. Bencoolen: A History of The Honourable East India Company’s Barrison on The West Coast of Sumatra 1685-1825. Wiltshire: A And Partnersip
Kartodirjo, Sartono. 1982. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: Gramedia
_______. & Suryo, Djoko. 1991. Sejarah Perkebunan di Indonesia Kajian Sosial Ekonomi. Yogyakarta: Aditya Media
Kathirithamby-Wells, J. 1965. The British West Sumatran Presidency 1760-1785. Kuala Lumpur: University of Malaya Press
Koentjaraningrat. 1986. Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia
_______. 1980. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru
Kuntowijoyo. 1995. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Bentang
Marsden, William. 1999. Sejarah Sumatera. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
_______. The History of Sumatra. 1966. Kuala Lumpur: Oxford University Press
Nahuijs, Kolonel. 1828. Briven over Bencoolen, Padang, het Rijk van Menangkabaouw, Rhiouw, Singapoera, en Poulo Pinang. Breda: F.B Hollingerus Pijpers
Purcell, Victor. 1951. The Chinese in Southeast Asia. London: Oxford University Press
Ranni, M.Z. 1990. Perlawanan Terhadap Penjajahan dan Perjuangan Menegakkan Kemerdekaan Indonesia di Bumi Bengkulu. Jakarta: Balai Pustaka
Riklef, M. C. 1989. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
R. Vleming, J. 1989. Jaringan Kongsi dan Spekulasi: Jaringan Kerja Bisnis Cina. Jakarta: P.T. Temprit
Schrieke, B. 1960. Indonesian Sociological Studies 1. Bandung: Sumur Bandung
Siddik, Abdullah. 1996. Sejarah Bengkulu 1500-1990. Jakarta: Balai Pustaka
Singarimbun, Masri & Effendi, Sofian. 1995. Metode Penelitian Survey. Jakarta: LP3ES
Siu Liem, Yu. 2000. Prasangka Terhadap Etnis Cina, sebuah intisari. Jakarta: Djambatan
Skinner, G. W. 1963. The Chinese Minority Indonesia. Ruth M.C. Vey (ed): New Haven
Soekanto, Soerjono. 1983. Beberapa Teori Sosiologi Tentang Struktur Masyarakat. Jakarta: C.V. Rajawali
Suryadinata, Leo. 1984. Politik Tionghoa Peranakan di Jawa 1917-1942. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
Twan Djie, Liem. 1995. Perdagangan Perantara Distribusi Orang-Orang Cina di Jawa: Suatu Studi Ekonomi. Jakarta: P.T. Gramedia Pustaka Umum
Untoro Drajat, Heriyanti. 1995. Kepercayaan Orang Cina di Indonesia, Laporan Penelitian. Jakarta: Fakultas Sastra UI
Van der Hoeven, Pruys. 1864. Een Woord Over Sumatra in Brieven Verzameld. Rotterdam: Martinus-Nijhoff
Van Kempen, P.N. 1861. Aadrijkskundig en Statistisch Woorden Boek van Nederlandsch-Indie. deel 1. Amsterdam
Vinne, van der L. 1843. Benkoelen zoo als het is, em de Benkoelezen zoo als zij zijn. TNI. Vijfde, Jaargang. deel. II. Batavia: Ter Land-Drukkerij
Vlekke, Bernand H.M. 1965. Nusantara A History of Indonesian. The Hague: W. Van Hoeve ltd
Wibowo, I. 1999. Retrospeksi dan Rekonlekstualisasi Masalah Cina. Jakarta: PT. Gramedia
Wink, P. 1924. Eenige Archiefstukken Betreffende de Bevestiging van de Engelsche Factorij te Benkoelen in 1685. TBG. Deel. LXIV. Batavia: Albrecht & Co
_______. 1924. De Bronnen van Marsden’s Adatbesschrijving van Sumatra. BKI. Dell. 80. S-Gravenhage: Martinus-Nijhoff
Wuisman, J.J.J. 1985. Sociale Verandering in Bengkulu Een Cultuur-Sociologische Analyse. Dordrecht Holland: Foris Publications
Artikel
Harfield, Alan. 1995. Bencoolen: A History of The Honourable East India Company’s Barrison on The West Coast of Sumatra 1685-1825. Wiltshire: A And Partnersip
J. M. Nas, Peter. “Introduction: A. General View On Indonesian Town” dalam Peter J. M. Nas (ed). 1986. The Indonesian City Holland. VSA : Foris Publication
Mackie, J.A.C. 1991. “Peran Ekonomi dan Identitas Etnis Cina Indonesia dan Muangthai” dalam Jennifer Cushman dan Wang Bung Wu (ed). Perubahan Identitas Orang Cina di Asia Tenggara. Jakarta: Pustaka Umum Grafiti
_______. & Charles A. Coppel. “Suatu Survei Awal Masalah Cina di Indonesia” dalam B. P. Paulus (ed). 1976. Masalah Cina: Hasil Penelitian Ilmiah di Beberapa Negara Asia dan Australia. Bandung: Karya Nusantara
Made Tony Supriatna, A. 1996. “Bisnis dan Politik Kapitalisme dan Golongan Tionghoa di Indonesia” dalam Penguasa Ekonomi dan Siasat Pengusaha Tionghoa. Yogyakarta: Kanisius
Siagian, Hayaruddin dan Ibnu Qoyim. “Hubungan Antar Etnis: Studi Kasus di Daerah Lampung” dalam Mely G. Tan (ed). 1999. Etnisitas dan Konflik Sosial. Jakarta: PMP-LIPI
The Siauw Biap “Socio Economic Role of The Chinese in Indonesian 1820-1940” dalam Angus Madison & Ge Prince (ed). 1989. Economic Growth in Indonesian 1820-1940. Dordrecht-Holland: Foris Publication
William Skinner, G. “Golongan Minoritas Tionghoa di Indonesia” dalam Mely G. Tan. 1979. Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia: Suatu Masalah Pembinaan Kesatuan Bangsa. Jakarta: Gramedia
Demikianlah Artikel AKTIVITAS PERDAGANGAN ETNIS CINA DI BENGKULU PADA AKHIR ABAD XVIII – AWAL ABAD XX
Sekianlah artikel AKTIVITAS PERDAGANGAN ETNIS CINA DI BENGKULU PADA AKHIR ABAD XVIII – AWAL ABAD XX kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.
Anda sekarang membaca artikel AKTIVITAS PERDAGANGAN ETNIS CINA DI BENGKULU PADA AKHIR ABAD XVIII – AWAL ABAD XX dengan alamat link Sapiens